BAB 5 NERACA PEMBAYARAN INTERNASIONAL



BAB 5 NERACA PEMBAYARAN INTERNASIONAL

Dalam pelaksanaan pembangunan yang berlandaskan Trilogi Pembangunan  BAB 5 NERACA PEMBAYARAN INTERNASIONAL
 BAB 5 NERACA PEMBAYARAN INTERNASIONAL
15 macam produk tekstil  - I. PENDAHULUAN

Dalam pelaksanaan pembangunan yang berlandaskan Trilogi Pembangunan, kebijaksanaan neraca pembayaran mempunyai peran-            an penting dalam pemantapan stabilitas di bidang ekonomi yang diarahkan guna mendorong pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja. - contoh kerajinan tekstil sederhana Di samping itu, mela¬-lui kebijaksanaan neraca pembayaran juga diusahakan tercapai¬-nya perubahan fundamental dalam struktur produksi dan perda-gangan luar negeri sehingga dapat meningkatkan ketahanan eko-nomi Indonesia terhadap tantangan-tantangan di dalam negeri dan keguncangan-keguncangan ekonomi dunia, seperti yang diga-riskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara.  Dengan kebijak-sanaan neraca pembayaran yang serasi dan terpadu dengan kebi-jaksanaan-kebijaksanaan pembangunan lainnya, diharapkan Indo-nesia mampu menghadapi berbagai tantangan yang timbul sebagai akibat ketidakpastian perkembangan ekonomi dunia beserta dam-paknya terhadap perdagangan luar negeri, arus dana luar nege¬      ri serta beban dan kemampuan pelunasan hutang-hutang luar negeri.
Perekonomian dunia dewasa ini masih terus ditandai oleh fluktuasi yang tajam dan ketidakpastian dalam pasaran minyak
- contoh kerajinan tekstil dan cara pembuatannya bumi dan pasaran komoditi primer lainnya, di samping menguat-           ¬nya tindakan proteksionisme terhadap barang-barang ekspor ne¬gara-negara berkembang di pasaran negara-negara industri ser¬-         ta ketidakpastian dalam perkembangan nilai paritas antar va¬-       luta utama. Laju pertumbuhan produksi dunia selama periode         1980 - 1987 hanya mencapai rata-rata 2,6% setiap tahunnya, dibandingkan dengan 4,1% selama dasawarsa tujuhpuluhan. Da-      lam masa 1980 - 1987 tersebut produksi riil di negara-negara industri, negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak         bumi dan negara-negara pengekspor minyak bumi mengalami per  tumbuhan per tahun sebesar masing-masing 2,4%, 4,2%, dan 0,1% dibandingkan dengan 3,3%, 5,1% dan 7,1% selama dasawarsa tu¬juhpuluhan.


Laju pertumbuhan yang menurun tersebut diikuti juga oleh laju pertumbuhan perdagangan internasional yang sangat lam-            ban. Apabila dalam periode 1970 - 1979 pertumbuhan perdagang-         ¬an dunia mencapai rata-rata 6,2% per tahunnya, maka selama         masa 1980 - 1987 laju pertumbuhan tersebut hanyalah sebesar 2,9%. Volume ekspor negara-negara industri dan negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi dalam periode 1980 - 1987 mengalami kenaikan sebesar masing-masing 3,7% dan 7,2%         per tahun, sedangkan volume ekspor negara-negara pengekspor minyak bumi menurun dengan rata-rata 5,5% per tahun. Selama periode yang sama volume impor negara-negara industri dan ne¬gara-negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi menunjuk¬-        kan kenaikan sebesar masing-masing 4,0% dan 2,8% per tahun. Sebaliknya impor negara-negara pengekspor minyak bumi rata-      rata menurun dengan 4,5% per tahun.
Dibandingkan dengan dasawarsa tujuhpuluhan, nilai tukar perdagangan bagi negara-negara berkembang merosot dengan pe¬nurunan sebesar rata-rata 1,7% per tahun untuk negara-negara

bukan pengekspor minyak bumi dan 2,2% per tahun bagi negara-            negara pengekspor minyak bumi selama delapan tahun pertama dasawarsa delapanpuluhan. Sementara itu nilai tukar perda¬-       gangan untuk negara-negara industri dalam periode yang sama         naik sebesar 0,6% per tahun. Perkembangan nilai tukar perda-           gangan seperti tersebut di atas merupakan pencerminan perbe-           daan perkembangan perubahan harga produk-produk manufaktur, komoditi primer dan minyak bumi yang dalam masa 1980 - 1987 masing-masing mengalami kenaikan sebesar rata-rata 3,4% dan penurunan sebesar 2,5% dan 1,2% setiap tahunnya.
Kelesuan dalam kegiatan perekonomian dunia yang disertai dengan tingkat pengangguran yang cukup tinggi di negara-nega¬-            ra industri dalam kurun waktu 1980 - 1987 juga ditandai oleh membesarnya perbedaan dalam perkembangan neraca pembayaran negara-negara tersebut. Hal ini telah menyebabkan timbulnya gejolak di pasar valuta asing, khususnya berupa apresiasi Yen terhadap Dollar Amerika Serikat, dan di pasar modal serta pa¬-           sar uang internasional. Ketidakseimbangan neraca pembayaran        di negara-negara industri antara lain disebabkan oleh kelam¬-         banan pelaksanaan penyesuaian struktural di negara-negara tersebut serta kurangnya koordinasi kebijaksanaan makro di          antara mereka.
Perkembangan perekonomian dunia tahun-tahun terakhir ini berdampak luas terhadap masalah penyelesaian krisis hutang      secara tuntas dan terhadap kelanjutan proses pembangunan di negara-negara berkembang. Beban hutang,' yang dalam tahun 1987 mencapai jumlah sebesar US $ 1,2 trilyun, bagi banyak negara berkembang menjadi amat berat karena beberapa perkembangan       yang kurang menguntungkan terjadi hampir bersamaan, yaitu terhambatnya pertumbuhan ekspor mereka, meningkatnya nilai         tukar valuta beberapa negara utama pemberi pinjaman, naiknya
tingkat bunga riil di pasar uang dan tersendatnya arus dana pembangunan, baik bersyarat lunak maupun kurang lunak. Meski-       pun berbagai negara berkembang telah menempuh kebijaksanaan penyesuaian di bidang moneter, fiskal dan perdagangan, ke¬langsungan proses pembangunan mereka terancam karena rendah-         nya laju pertumbuhan ekonomi selama tahun-tahun terakhir ini.
Sementara itu usaha-usaha untuk mengatasi masalah-masa¬-           lah keuangan negara-negara berkembang terus dilakukan di fo¬-           rum internasional. Langkah-langkah tersebut meliputi, antara lain, perluasan fasilitas penyesuaian struktural dan fasili¬-         tas pinjaman IMF lainnya yang ditujukan untuk memenuhi kebu¬- tuhan pembiayaan defisit neraca pembayaran, peningkatan pe¬nyaluran dana-dana pembangunan bersyarat lunak oleh Bank Du-            nia, serta pembentukan Multilateral Investment Guarantee          Agency (MIGA) guna mendorong penanaman modal dari negara maju          ke negara berkembang.
Dalam rangka Putaran Uruguay Persetujuan Umum tentang        Bea Masuk dan Perdagangan (GATT), dewasa ini sedang berjalan serangkaian negosiasi yang bertujuan untuk lebih membebaskan       dan memperluas perdagangan internasional. Sesuai dengan kese¬pakatan, prioritas diberikan pada pelaksanaan komitmen untuk tidak menaikkan, dan bahkan mengurangi, hambatan-hambatan perdagangan serta pelonggaran perdagangan produk tropis dan pertanian, hasil-hasil olahan sumber alam dan produk-produk tekstil.
Masalah-masalah dana pembangunan, hutang-hutang negara¬negara berkembang, stabilisasi pasaran komoditi primer terma¬-        suk Program Komoditi Terpadu dan Dana Bersama, perdagangan internasional dan pembangunan negara-negara paling terbela¬-              kang juga dibahas secara intensif di forum Konperensi tentang Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD). Dengan dipenuhinya
persyaratan keanggotaan serta kontribusi modal, Dana Bersama yang akan membiayai dana penyangga serta kegiatan riset, pengolahan dan pemasaran dalam rangka Perjanjian Komoditi, sekarang berada pada tahap persiapan operasi.
Sementara itu, selama masa Repelita IV terus dilanjutkan kegiatan kerja sama ekonomi dan teknik antara negara-negara berkembang, baik di forum UNCTAD maupun dalam kerangka Gerak¬-         an Non Blok dan Organisasi Konperensi Islam. Untuk meningkat-         kan perdagangan antar sesama negara berkembang telah dimulai putaran negosiasi dari Sistem Preferensi Perdagangan Global (GSTP).
Semakin meningkatnya kerja sama ekonomi antara negara anggota ASEAN tercermin dalam kesepakatan yang dicapai dalam Konperensi Tingkat Tinggi ke III yang diselenggarakan pada        akhir tahun 1987. Kesepakatan tersebut meliputi peningkatan perdagangan berdasar Perjanjian Perdagangan Preferensial            (PTA), perluasan kerja sama industri melalui proyek ASEAN       (AIP), proyek patungan (AIJV) dan proyek komplementasi indus¬-         tri (AIC), serta peningkatan kerja sama di bidang komoditi, pangan dan pertanian, energi, perhubungan dan komunikasi, ke¬uangan dan perbankan dan pariwisata.
Dalam tahun 1988/89 berbagai indikasi memberikan harapan bahwa kegiatan perekonomian dunia mulai bangkit kembali. Akan tetapi adanya ketidakpastian untuk jangka waktu lebih panjang menghendaki agar setiap perkembangan dan gejolak ekonomi in¬ternasional terus diikuti secara seksama agar dapat diketahui sedini mungkin hal-hal yang dapat mengganggu stabilitas eko¬-           nomi dan menghambat pelaksanaan pembangunan. untuk segera            dapat diambil langkah-langkah pengamanannya. Selanjutnya per¬kembangan dunia yang mengandung peluang yang dapat menunjang
269

serta mempercepat pelaksanaan pembangunan, perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan nasional.

II. KEADAAN DAN PERMASALAHAN SELAMA REPELITA IV
Perkembangan neraca pembayaran dan perdagangan luar ne¬-        geri selama Repelita IV sangat dipengaruhi perkembangan yang kurang menguntungkan dari perekonomian dunia yang ditandai        oleh kelesuan perekonomian dan perdagangan dunia, kemerosotan dalam pasaran minyak bumi dan komoditi ekspor lainnya dan         oleh gejolak di pasar valuta internasional.
Pasaran minyak bumi internasional sejak tahun 1980 di-         warnai oleh berbagai keguncangan yang diakibatkan oleh adanya kelesuan dalam kegiatan ekonomi negara-negara industri, ada-           nya kelebihan penawaran minyak di pasaran dan oleh terjadinya perubahan dalam pola konsumsi energi. Dengan keputusan untuk mengurangi batas maksimum produksi OPEC dari 17,5 menjadi          16,0 juta barrel per hari, maka kuota Indonesia pun dalam bu¬-       lan Oktober 1984 diturunkan dari 1,3 juta barrel menjadi        1,189 juta barrel per hari. Selanjutnya harga patokan minyak bumi mentah jenis ALCO diturunkan dari US $ 34,0 menjadi US $ 29,0 per barrel dalam bulan Maret 1983. Harga patokan ekspor minyak bumi mentah Indonesia ikut merosot dari US $ 34,53 men¬jadi US $ 29,53 per barrel. Dalam bulan Pebruari 1985 harga ekspor minyak bumi tersebut jatuh menjadi US $ 28,53 per         barrel untuk kemudian terus merosot menjadi US $ 14,45 dalam bulan Maret 1986 dan US $ 9,83 per barrel dalam bulan Agustus 1986. Setelah keputusan OPEC untuk kembali ke sistem harga          yang terikat, mulai Pebruari 1987 ditetapkan harga minyak pa¬tokan Indonesia (SLC) sebesar US $ 17,56 per barrel. Dengan
TABEL 5 - 1
RINGKASAN NERACA PEMBAYARAN
1984/85 - 1988/89
(dalam juta US dollar)
                    1)
1983/84    1984/85    1985/86    1986/87    1987/88    1988/89
19.816    19.901    18.612    13.697    18.343    18.703
5.367    5.907    6.175    6.731    9.502    11.225
14.449    13.994    12.437    6.966    8.841    7.478
-16.304    -14.427    -12.552    -11.451    -12.952    -13.799
-12.815    -11.630    -10.078    -9.356    -10.597    -11.655
-3.489    -2.797    -2.474    -2.095    -2.355    -2.144
-7.663    -7.442    -7.892    -6.297    -7.098    -6.845
-4.074    -4.061    -4.052    -4.010    -4.372    -4.652
-3.589    -3.381    -3.840    -2.287    -2.726    -2.193
-4.151    -1.968    -1.832    -4.051    -1.707    -1.941
-11.522    -9.784    -7.955    -6.635    -5.467    -5.082
7.371    7.816    6.123    2.584    3.760    3.141
5.793    3.519    3.432    5.472    4.575    5.091
84    52    38    48    858    2.225
5.709    3.467    3.394    5.424    3.717    2.866
-1.010    -1.292    -1.644    -2.129    -3.049    -3.909
1.191    499    572    1.232    1.709    1.056
193    245    299    252    544    641
998    254    273    980    1.165    415
-2.070    -667    -30    738    -1.585    176
247    -91    -498    -1.262    57    -473


demikian harga rata-rata ekspor minyak bumi selama masa 1984/       85 - 1986/87 menurun sebesar 24,6% per tahun dari US $ 29,15      per barrel dalam tahun 1983/84 menjadi US $ 12,50 per barrel dalam tahun 1986/87 untuk kemudian kembali naik mencapai         US $ 17,56 per barrel dalam tahun 1987/88. Harga efektif eks-       ¬por minyak bumi Indonesia sejak permulaan tahun 1988 mulai merosot lagi. Hal ini karena pangsa pasar yang dikuasai oleh OPEC relatif lebih kecil dibandingkan dengan pangsa minyak         yang dikuasai oleh negara-negara non OPEC. Di samping itu negara-negara konsumen besar seperti Amerika Serikat telah berhasil menimbun, cadangan minyak dalam jumlah yang besar. Dalam bulan Nopember 1988 OPEC mencapai kesepakatan untuk membatasi produksi semua negara anggota sehingga mulai 1       Januari 1989 berlaku kuota sebesar 18,5 juta barrel per hari. Usaha. tersebut berkaitan dengan kesepakatan mengenai penetap-           ¬an harga referensi sebesar US $ 18,0 per barrel. Berhasilnya usaha pemulihan stabilitas pasar minyak bumi internasional          akan ditentukan oleh sikap dan rasa tanggung jawab semua produsen, baik di dalam maupun di luar OPEC. Berdasar kese¬pakatan tersebut, maka kuota Indonesia mulai 1 Januari 1989       naik menjadi 1,240 juta barrel per hari.

1. Perkembangan di Bidang Ekspor
Dampak perkembangan faktor-faktor ekstern yang tidak menguntungkan tersebut semakin terasa karena masih adanya ke¬lemahan struktural dalam neraca perdagangan Indonesia. Pada tahun 1983/84 72,9% dari seluruh nilai ekspor bersumber pada minyak dan gas bumi, sedang dari nilai ekspor di luar minyak       dan gas bumi 66,5% berasal dari komoditi primer, hasil perta-              ¬nian dan hasil tambang. Selama tiga tahun pertama Repelita IV nilai ekspor seluruhnya telah merosot dengan rata-rata 11,6%
setiap tahunnya. Nilai ekspor minyak dan gas bumi mengalami kemunduran sebesar 21,6% per tahun, sedangkan nilai ekspor hasil-hasil pertanian hanya nail( sebesar rata-rata 0,7% per tahun dan hasil-hasil tambang bahkan menurun dengan 3,2% per tahun. Perkembangan neraca perdagangan sedikit tertolong oleh perkembangan ekspor hasil-hasil industri. Dalam kurun waktu        yang sama nilai ekspor hasil-hasil industri menunjukkan kena¬-ikan sebesar rata-rata sekitar 20% per tahun dengan kenaikan ekspor kayu lapis dan produk-produk tekstil sebagai penyumbang utamanya (Tabel 5-2).
Guna menghadapi kemerosotan dalam nilai dan peranan eks¬-        por minyak dan gas bumi, dan dalam rangka meningkatkan peran¬-           an ekspor di luar minyak dan gas bumi sebagai tumpuan sumber penghasil devisa serta sebagai penggerak laju pertumbuhan eko¬nomi dan perluasan kesempatan kerja, selama masa Repelita IV telah ditempuh serangkaian langkah-langkah penyesuaian dan kebijaksanaan yang bersifat mendasar.


Kebijaksanaan yang tertuang dalam Instruksi Presiden             No. 4 Tahun 1985 menyangkut langkah-langkah di bidang tata laksana ekspor dan impor, pelayaran antar pulau, biaya ang  kutan laut, pengurusan barang dan dokumen, keagenan umum per-usahaan pelayaran dan tata laksana operasional pelabuhan dan ditujukan pada peningkatan efisiensi dalam produksi maupun         lalu lintas barang, khususnya barang-barang ekspor dan impor          di luar minyak dan gas bumi. Dengan adanya Inpres tersebut            pada prinsipnya tidak lagi dilakukan pemeriksaan pabean ter-           ¬hadap barang-barang ekspor dan barang-barang impor kecuali          yang nilainya kurang dari US $ 5.000 dan beberapa golongan       impor tertentu. Pemasukan barang impor yang tidak terkena pe¬meriksaan pabean ke wilayah pabean Indonesia harus dilengkapi
TABEL 5 - 2
NILAI EKSPOR, 1984/85 - 1988/89
(dalam juta US dollar)
                        1)    Laju Pertumbuhan
    1983/84    1984/85    1985/86    1986/87    1987/88    1988/89    Rata-rata (4)
A. MINYAK DAN GAS B1MI (BRUTO)    14.449    13.994    12.437    6.966    8.841    7.478    -12,3
1. Minyak mentah dan hasil
hasil minyak bumi    12.050    10.625    8.816    4.798    6.159    5.012    -16,1
    2.399    3.369    3.621    2.168    2.628    2.403    0,0
2.
3.    Gas alam cair (LNG)
Gas minyak bums cair (LPG)                           
                        54    63   
B. DI L1)AR MINYAK DAN GAS B1MI    5.367    5.907    6.175    6.731    9.502    11.225    15,9
1.    Kayu bulat    250    135    2    3    3       
2.    Karat    984    856    714    752    1.041    1.161    3,4
3.    Kopi    506    568    659    752    491    541    1,4
        156    211    134    106    115    131    -3,5
4. Teh                           
    43    60    65    58    70    88    15,5
5.
6.    Coklat
Tembakau                           
        50    44    55    78    56    62    4,5
7. Minyak sawit dan
biji kelapa sawit    96    100    174    114    213    268    22,7
    34    19    35    34    40    47    7,0
8.
9.    Bungkil kopra
Lade                           
        58    66    82    152    155    177    25,1
10.    Rempah-rempah lain    47    44    53    79    91    109    18,5
11.    Tapioka dan bahan makanan lain    135    129    164    141    192    203    8,6
12.    Wang dan hasil hewan lainnya    276    219    272    380    461    537    14,2
13.    Rotan    87    96    80    99    160    231    21,7
14.    Kulit    26    40    37    45    59    158    43,8
15.    Lain-lain hasil pertanian    21    44    40    38    99    122    42,4
16.    Timah    309    252    248    156    143    174    -10,9
17.    Tembaga    88    132    133    144    186    214    19,5
18.    Aluminium    165    208    223    201    245    266    10,0
19.    Nikel pekatan dan biji nikel    162    121    140    112    146    170    1,0
20.    Emas        -    -    61    286    293   
21.    Granit, bauksit 9 lain-lain
hasil tambang    76    62    63    51    51    56    -5,9
22.    Kayu lapis    579    697    845    1.156    1.832    2.104    29,4
23.    Kayu gergajian dan olahan    332    336    367    433    623    697    16,0
24.    Hasil-hasil besi dan baja    4    14    49    81    211    319    140,1
25.    Bahan kimia    22    53    60    49    69    94    34,2
26.    Kertas    9    22    21    42    115    137    72,8
27. Tekstil: benang tenun dan
produk lain    151    209    302    269    535    666    34,5
    191    315    428    469    648    817    33,8
28.
29.    Pakaian jadi
Pupuk Urea                           
        50    31    109    97    100    161    26,3
30.    Lain-lain hasil industri    460    824    621    579    1.066    1.222    21,6
C. JUMLAH NILAI EKSPOR    19.816    19.901    18.612    13.697    18.343    18.703    -1,1
                           
1) Perkiraan

dengan Laporan Kebenaran Pemeriksaan (LKP) yang dikeluarkan            oleh Societe Generale de Surveillance (SGS).
Melalui Paket Kebijaksanaan 6 Mei 1986 ditempuh langkah¬langkah penunjang ekspor berupa fasilitas pembebasan dan pe¬ngembalian bea masuk atas barang dan bahan baku impor yang digunakan untuk memproduksi barang-barang ekspor. Kemudahan tersebut diberikan kepada produsen eksportir, produsen bukan eksportir, pengusaha yang melaksanakan proyek yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri Pemerintah dan pengusaha dalam rangka PMA dan PMDN.
Menurunnya harga minyak bumi ekspor dengan 52,5% dalam tahun 1986/87 dibandingkan dengan tahun sebelumnya mendorong dilakukannya devaluasi Rupiah sebesar 31,0% dalam bulan Sep¬tember 1986. Tindakan tersebut ditujukan untuk mempertahankan cadangan devisa dan memperkuat neraca pembayaran melalui pe¬ningkatan daya saing barang-barang produksi dalam negeri baik        di pasaran dalam negeri maupun di pasaran luar negeri.
Paket Kebijaksanaan 25 Oktober 1986 yang disusul dengan Paket Kebijaksanaan 15 Januari 1987 merupakan langkah lanjut    ke arah deregulasi dan debirokratisasi perekonomian dan meru¬pakan kebijaksanaan yang bersifat struktural. Berdasarkan ke¬bijaksanaan tersebut dimulai pergeseran dari cara pemberian perlindungan untuk barang-barang produksi dalam negeri mela¬-         lui pengaturan tata niaga impor atau pembatasan kuantitatif            ke penggunaan bea masuk. Melalui kedua kebijaksanaan deregu¬-         lasi terhadap 268 jenis barang atas dasar klasifikasi CCCN diberlakukan pembebasan dari restriksi tata niaga atau pemba¬tasan kuantitatif. Selanjutnya, berdasar kedua kebijaksanaan tersebut terhadap 221 jenis barang diadakan pelonggaran dari pengaturan tata niaga impor, 208 jenis barang dikenakan pem¬bebasan atau keringanan bea masuk sehingga rentang tingkat
bea masuk berkisar antara 0% - 40%, sedang 186 jenis barang dikenakan bea masuk atau bea masuk tambahan.
Paket kebijaksanaan selanjutnya yang diumumkan pada tang-gal 24 Desember 1987 bersifat lebih menyeluruh dan meliputi bidang perdagangan luar negeri, industri, perhubungan, pena¬-naman modal serta pariwisata dan menyangkut struktur bea ma-         ¬suk, tata niaga, perizinan, permodalan, perpajakan dan per¬kreditan. Pembebasan dari pengaturan tata niaga dikenakan terhadap 106 jenis barang, terdiri dari 28 jenis bahan makan-            ¬an, minuman dan buah-buahan, 7 jenis produk industri listrik       dan elektronika, 10 jenis alat-alat besar dan suku cadang, 4 jenis produk kimia, 1 jenis produk mesin-mesin perlengkapan        dan suku cadang, serta 56 jenis produk industri logam. Di sam¬ping itu untuk 48 jenis produk industri alat-alat besar dan      22 jenis produk industri kendaraan bermotor diterapkan pe¬longgaran dari ketentuan tata niaga impor. Selanjutnya juga diadakan penciutan pola keagenan tunggal, khususnya di bidang industri alat-alat elektronika dan alat-alat listrik untuk         rumah tangga, kendaraan bermotor dan alat-alat besar.
Pada bulan Nopember 1988 dikeluarkan lagi kebijaksanaan deregulasi baru di bidang perdagangan, perindustrian, perta¬-         nian dan perhubungan laut. Melalui kebijaksanaan tersebut te¬-         lah ditiadakan tata niaga impor bagi 301 jenis barang, terdi-         -ri dari 50 jenis produk industri makanan dan minuman, 46 je-            ¬nis produk pertanian, 80 jenis produk kimia, farmasi dan kos¬metika, termasuk 33 jenis plastik, 15 jenis produk industri logam, dan 110 jenis produk industri tekstil. Untuk barang¬-barang yang tadinya dikenakan larangan impor, perlindungan dilakukan melalui penetapan bea masuk dan atau bea masuk tambahan.

Berkat kebijaksanaan devaluasi dan rangkaian langkah-        -langkah deregulasi, nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi meningkat dengan 41,2% dalam tahun 1987/88 dan diperkirakan naik sebesar 18,1% dalam tahun 1988/89.
Selama masa Repelita IV telah diperluas kebijaksanaan peningkatan nilai tambah produk-produk ekspor guna meningkat-            ¬kan penghasilan devisa dan kesempatan kerja. Dalam tahun       1986/87 ditetapkan larangan ekspor rotan dalam bentuk mentah, sedang pelaksanaan larangan ekspor rotan dalam bentuk sete¬-         ngah jadi dipercepat dari bulan Januari 1989 menjadi 1 Juli 1988. Larangan ekspor kayu gergajian jenis ramin, meranti pu¬-       tih dan agathis yang tidak berbentuk papan lebar yang dite¬-   rapkan pada tahun 1986 disusul dengan larangan ekspor kayu      bahan chips dan kayu gergajian bernilai rendah mulai bulan September 1988. Di bidang tata niaga ekspor kayu gergajian      dan kayu olahan ditetapkan bahwa ekspor 'semua jenis kayu dan hasil ikutannya wajib diperiksa oleh surveyor sebelum penga¬palan, sedang ekspor hanya dapat dilaksanakan oleh Eksportir Terdaftar, yaitu perusahaan yang memproduksi atau mengekspor kayu gergajian dan olahan yang bahan bakunya berasal dari Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan mendapat pengakuan dari instansi yang berwenang. Larangan ekspor juga dilakukan untuk jangat         dan kulit dalam bentuk mentah.
Dalam rangka peningkatan daya saing hasil-hasil ekspor         di pasaran internasional telah dilanjutkan usaha-usaha pe¬nyempurnaan mutu melalui penerapan dan pengawasan mutu yang dilakukan oleh jaringan laboratorium baik di pusat maupun di daerah-daerah. Begitu pula diteruskan kegiatan promosi guna menerobos dan memperluas pasar khususnya untuk produk-produk ekspor baru ke pasar non tradisional, antara lain Timur Te¬-            ngah dan Eropa Timur.
277

2. Perkembangan Impor dan Jasa-jasa
Selama periode 1984/85 - 1986/87 nilai impor (f.o.b.) mengalami penurunan sebesar rata-rata 11,1% per tahun. Dalam periode tersebut nilai impor sektor minyak dan gas bumi menu-       run dengan rata-rata sebesar 15,6% per tahun, sedangkan nilai impor di luar sektor minyak dan gas bumi merosot dengan ra¬-             ta-rata sebesar 10,0% per tahun. Perkembangan ini disebabkan terutama oleh adanya kelesuan dalam kegiatan ekonomi. Diber¬lakukannya pembatasan impor melalui tarif dan pengaturan tata niaga, termasuk penetapan importir tunggal atau kuota untuk beberapa jenis komoditi, juga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan tersebut. Peningkatan penggunaan cara pengaturan tata niaga impor guna melindungi industri di dalam negeri te¬-         lah menimbulkan masalah distorsi pasaran dan ketidakefisienan dalam penggunaan sumber-sumber produksi serta turut mendorong gejala ekonomi biaya tinggi. Perluasan pengaturan tata niaga impor telah juga menyebabkan berkurangnya peranan tarif seba¬-        gai cara kebijaksanaan proteksi, sedangkan tingkat proteksi efektif semakin ditentukan oleh hambatan non tarif dan makin sulit untuk dipantau dan dievaluasi.
Di bidang impor langkah pertama ke arah deregulasi di-         -tempuh dalam bulan Maret 1985 berupa rasionalisasi struktur          bea masuk. Berdasar Surat Keputusan Menteri Keuangan telah dilakukan penyesuaian bea masuk secara menyeluruh guna menu- runkan tingkat proteksi dan mengurangi penyelundupan. Tingkat tarif maksimum diturunkan dari 225% menjadi 60%, sedang jum¬-           lah golongan tarif diturunkan dari 26 menjadi 16. Paket Kebi¬jaksanaan 25 Oktober 1986, 15 Januari 1987, 24 Desember 1987  dan 21 Nopember 1988 menyebabkan adanya perubahan pada daftar tarif yang berlaku dengan adanya jenis-jenis barang yang di¬kenakan pembebasan, keringanan atau kenaikan bea masuk dan
jenis barang yang dikenakan bea masuk tambahan. Kenaikan bea masuk dan pengenaan bea masuk tambahan tersebut dimaksudkan sebagai kompensasi penghapusan hambatan non tarif untuk ba¬-           rang-barang yang masih memerlukan perlindungan.
Meskipun devaluasi bulan September 1986 telah menyebab¬-             kan kenaikan dalam harga satuan impor dinyatakan dalam rupiah, peningkatan ekspor non migas yang tajam setelah itu menaikkan pula impor bahan baku, bahan penolong dan barang modal bagi produksi ekspor tersebut. Perkembangan ekspor tersebut, ber¬-       sama-sama dengan serangkaian kebijaksanaan deregulasi dan de¬birokratisasi yang diambil selama periode 1986 - 1988 telah mendorong meningkatnya impor di luar sektor minyak dan gas        bumi dengan rata-rata 11,6% per tahun selama periode 1987/88      - 1988/89. Dalam periode yang sama nilai impor barang-barang modal dan bahan baku dan penolong masing-masing mengalami ke¬naikan sebesar rata-rata 16,1% dan 12,2% per tahun sedangkan impor barang-barang konsumsi mengalami kenaikan rata-rata se-        -besar 3,0% per tahun (label 5-3 dan label 5-4).
Kebijaksanaan di bidang jasa-jasa ditujukan untuk me¬ningkatkan penerimaan devisa dan menghemat serta mengarahkan penggunaan devisa untuk keperluan yang produktif. Pengembang-            ¬an sektor pariwisata sebagai salah satu sumber penghasilan       devisa utama dilakukan melalui peningkatan pelayanan termasuk peraturan visa, promosi, perluasan jaringan penerbangan inter¬nasional dan pembangunan industri wisata. Melalui Paket Kebi¬jaksanaan 24 Desember 1987 telah dilakukan pula penyederhana¬-         an proses perizinan sehingga izin untuk membangun sarana wi-           ¬sata dibatasi hingga dua jenis, yaitu izin sementara dan izin tetap. Sehubungan dengan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, kebijaksanaan yang ditempuh masih terbatas pada pemberian perlindungan dan peningkatan keterampilan tenaga



GRAFIK 5 - 1
NILAI IMPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI
MENURUT GOLONGAN EKONOMI
1984/85 - 1988/89

281

TABEL 5 - 4
KOMPOSISI IMPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI
1984/85 - 1988/89
(dalam persentase dari jumlah)
    1983/84    1984/85    1985/86    1986/87    1987/88    1988/891)
Barang Konsumsi    19,6    19,0    18,2    22,3    20,4    19,0
Bahan Baku/Penolong    46,3    47,6    46,9    43,5    43,8    44,0
Barang Modal    34,1    33,4    34,9    34,2    35,8    37,0
Jumlah    100,0    100,0    100,0    100,0    100,0    100,0
1) Perkiraan                   

GRAFIK 5 – 2
KOMPOSISI IMPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI
1984/1985 - 1988/89



kerja. Langkah-langkah untuk menghemat penggunaan devisa          antara lain berupa mendorong penggunaan jasa perusahaan pe¬nerbangan dalam negeri dan menaikkan biaya Surat Keterangan Fiskal Luar Negeri dari Rp 150.000 menjadi Rp 250.000 bagi setiap orang yang bepergian ke luar negeri(Tabel 5-5).

3. Penanaman Modal dan Pinjaman Luar Negeri
Selama periode 1984/85 - 1986/87 penanaman modal asing hanya menunjukkan kenaikan sebesar rata-rata 4,6% per tahun. Perkembangan ini disebabkan karena kelesuan perekonomian du-           ¬nia dan karena iklim investasi di dalam negeri. Dalam rangka menggiatkan kembali penanaman modal oleh sektor swasta, baik melalui modal dalam negeri maupun modal asing, sejak perte¬-ngahan tahun 1986 telah diambil serangkaian kebijaksanaan pe¬nyederhanaan prosedur perizinan, penyempurnaan Daftar Skala Prioritas, perlakuan yang lebih seimbang terhadap perusahaan       PMA dengan perusahaan PMDN, pemilikan saham peserta nasional dalam perusahaan PMA, jumlah investasi minimum bagi perusaha-         ¬an PMA, dan jangka waktu izin PMA.
Dalam hal pemilikan saham Perusahaan PMA bare dan yang melakukan perluasan, sejak diberlakukannya Paket Kebijaksana¬-           an 24 Desember 1987 jangka waktu pengalihan mayoritas pemilik-            ¬an saham asing menjadi 15 tahun. Selain itu, perusahaan PMA       yang berlokasi di kawasan berikat dan yang mengekspor seluruh produksinya dapat didirikan dengan penyertaan modal nasional minimal 5% dari nilai saham tanpa keharusan peningkatan saham nasional untuk masa selanjutnya. Perusahaan PMA yang nilai investasinya minimal US $ 10 juta, atau berlokasi di daerah tertentu, atau minimal 65% dari produksinya diekspor, dapat didirikan dengan penyertaan nasional sebesar 5% dari nilai      saham untuk selanjutnya menjadi minimal 20% dalam waktu 10
TABEL 5 - 5
JASA-JASA DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI,
1984/85 - 1988/89
(dalam Juta US dollar)




tahun dan 51% dalam jangka waktu 15 tahun. Selanjutnya per¬usahaan PMA diberikan perlakuan sama seperti perusahaan PMDN dalam hal kesempatan memperoleh kredit modal kerja dari bank umum Pemerintah apabila minimal 51% sahamnya dimiliki oleh peserta nasional. Perlakuan sama tersebut juga diberikan da¬-           lam hal saham yang dimiliki oleh peserta nasional hanya 45% tetapi dengan syarat 20% dari jumlah seluruh saham dijual melalui pasar modal. Untuk mendorong ekspor hasil industri pengolahan, perusahaan PMA di samping mengekspor produksi sendiri juga dapat mengekspor hasil produksi perusahaan lain      di dalam negeri. Dalam ketentuan baru ini juga dimungkinkan untuk mendirikan perusahaan PMA yang khusus melakukan perda¬gangan ekspor hasil industri pengolahan.
Dalam suasana penerimaan negara yang ketat selama masa Repelita IV, pinjaman dari luar negeri masih tetap dimanfaat¬-        kan untuk pembiayaan pembangunan. Dana tersebut berfungsi se¬bagai pelengkap pembiayaan pembangunan dan senantiasa meme-           ¬nuhi persyaratan bahwa penggunaannya sesuai dengan rencana         dan program pembangunan, terlepas dari ikatan politik, mence¬-        gah ketergantungan pada luar negeri, sedang pelunasannya ti¬-           dak memberatkan neraca pembayaran di masa mendatang.
Salah satu masalah yang perlu diatasi selama periode Re¬pelita IV adalah meningkatnya beban hutang. Peningkatan pelu¬nasan angsuran dan pembayaran atas hutang-hutang luar negeri Pemerintah terutama bersumber dari peningkatan yang tajam da¬-         ri nilai mata uang Yen terhadap Dollar Amerika Serikat. Se¬-           perti diketahui sekitar sepertiga dari keseluruhan hutang In¬donesia adalah dalam Yen. Di lain pihak, masa tersebut juga mencatat terjadinya penurunan penerimaan ekspor, khususnya ekspor minyak dan gas bumi, sebagai akibat dari kemerosotan harga minyak bumi di pasar dunia. Nilai ekspor minyak dan gas
bumi dalam masa Repelita IV rata-rata menurun dengan 12,3%            per tahun.
Untuk meningkatkan pengendalian atas pinjaman luar nege-           ¬ri, sejak tahun 1984 telah ditempuh berbagai langkah. Lang¬-     kah-langkah tersebut antara lain berupa penyesuaian jumlah pinjaman dengan kebutuhan yang mendesak, penjadwalan kembali pelaksanaan proyek-proyek besar, pembatasan penggunaan kredit ekspor dan mengutamakan pinjaman bersyarat lunak serta perce-patan pelaksanaan penggunaan dana luar negeri untuk proyek-proyek pembangunan. Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan pemanfaatan bantuan luar negeri, sejak tahun 1987/88 Indone¬-       sia telah berhasil untuk kembali memperoleh pinjaman dalam bentuk bantuan program dan bantuan pembiayaan lokal yang kesemuanya bersifat lunak dan dapat dirupiahkan serta segera dapat ditarik dan digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek pembangunan yang diprioritaskan. Bantuan program tersebut digunakan untuk melengkapi kebutuhan rupiah anggaran pemba-ngunan, untuk menunjang pengembangan sektor tertentu dan         untuk menunjang kebijaksanaan penyesuaian struktural dalam rangka peningkatan ekspor di luar minyak dan gas bumi.

4. Perkembangan Neraca Pembayaran
Secara umum perkembangan neraca pembayaran selama masa Repelita IV menunjukkan dua perkembangan yang berbeda, yaitu perkembangan yang memprihatinkan untuk tiga tahun pertama dan kemajuan yang pesat selama dua tahun terakhir.
Selama Repelita IV, nilai ekspor seluruhnya mengalami penurunan sebesar rata-rata 1,1% per tahun, terutama disebab-kan oleh merosotnya penerimaan ekspor migas. Selama periode tersebut ekspor minyak bumi merosot sebesar 16,1% per tahun

287


dan gas alam cair meningkat dengan 0,6% per tahun. Di lain pihak ekspor di luar minyak dan gas bumi mengalami peningkat-           ¬an yang sangat pesat yaitu sebesar rata-rata 15,9% per tahun, dan bahkan selama dua tahun terakhir, yaitu periode 1987/88 - 1988/89, meningkat dengan 29,1% per tahun. Sementara itu pe-ranan ekspor non migas dalam nilai seluruh ekspor meningkat dari 27,1% dalam tahun 1983/84 menjadi 60,0% pada tahun 1988/ 89 (Tabel 5-1).
Nilai impor secara keseluruhan rata-rata menurun dengan 3,3% per tahun. Penurunan tersebut bersumber dari penurunan sebesar masing-masing 9,7% per tahun untuk sektor minyak bumi, 3,9% per tahun untuk sektor gas bumi cair serta 1,9% per ta-        ¬hun untuk sektor di luar minyak dan gas bumi. Akan tetapi se-lama dua tahun terakhir Repelita IV, sejalan dengan kenaikan ekspor non migas, nilai impor mengalami kenaikan sebesar rata-rata 9,8% per tahun. Selama masa ini impor sektor minyak dan gas bumi meningkat dengan rata-rata 1,2% per tahun dan impor      di luar sektor minyak dan gas bumi dengan 11,6% per tahun.
Secara netto pengeluaran devisa untuk jasa-jasa rata-ra-         ¬ta menurun dengan rata-rata 2,2% per tahun. Perincian lebih lanjut dari perkembangan ini adalah sebagai berikut: jasa-ja-        ¬sa sektor minyak dan gas bumi menurun sebesar 9,4% per tahun, jasa-jasa sektor di luar minyak dan gas bumi naik sebesar ra-      ta-rata 2,7% per tahun, penerimaan devisa dari sektor pariwi-sata meningkat dengan sangat pesat sebesar rata-rata 26,9% setiap tahunnya dan 40,9% selama periode 1987/88 - 1988/89, pembayaran bunga dan transfer keuntungan PMA/bank-bank asing meningkat dengan 14,5% per tahun. Penerimaan dari pariwisata mencapai US $ 1.371 juta pada akhir Repelita IV dibandingkan dengan US $ 417 juta pada akhir Repelita III.

Terutama karena menurunnya impor dengan berturut-turut 11,5% dan 13,0% dalam tahun 1984/85 dan 1985/86, defisit transaksi berjalan dapat ditekan dari US $ 4.151 juta pada       tahun 1983/84 menjadi US $ 1.968 juta dalam tahun 1984/85 dan      US $ 1.832 juta dalam tahun 1985/86. Namun dalam tahun ber-ikutnya, yaitu tahun 1986/87, kemerosotan tajam dari harga ekspor minyak bumi telah menurunkan nilai ekspor minyak dan    gas bumi sebesar 44,0% dan selanjutnya menyebabkan lonjakan dalam defisit transaksi berjalan menjadi US $ 4.051 juta. Da-   lam perkembangan selanjutnya situasi transaksi berjalan terus membaik berkat peningkatan yang mengesankan dari ekspor di          luar minyak dan gas bumi sebagai hasil dari kebijaksanaan de¬valuasi dan deregulasi di bidang perdagangan luar negeri. De¬fisit transaksi berjalan menurun menjadi US $ 1.707 juta pada tahun 1987/88 dan US $ 1.941 juta pada tahun 1988/89.
Dalam pada itu, pemasukan modal pemerintah atau pemanfa-         -atan bantuan luar negeri oleh pemerintah menurun dari US $        5.793 juta pada akhir Repelita III menjadi US $ 3.432 juta       dalam tahun 1985/86. Dalam tahun 1986/87 pemasukan modal ini meningkat dengan 59,4% dibandingkan dengan tahun sebelumnya       dan mencapai US $ 5.472 juta, sedangkan dalam tahun terakhir Repelita IV diperkirakan mencapai US $ 5.091 juta.
Pemasukan modal lain selama periode Repelita IV meng-         alami penurunan sebesar rata-rata 2,4%. Penurunan itu dise-babkan oleh kenaikan dalam investasi langsung netto, yaitu penanaman modal asing bruto dikurangi dengan pelunasan pokok pinjaman, sebesar rata-rata 27,1% dan penurunan dalam modal lainnya sebesar rata-rata 16,1% setiap tahunnya. Penanaman      modal asing bruto menunjukkan kenaikan sebesar rata-rata        15,7% per tahun selama 5 tahun Repelita IV dan 34,5% per ta-           ¬hun selama periode 1987/88 - 1988/89.

III. ARAH KEBIJAKSANAAN NERACA PEMBAYARAN REPELITA V
Sebagai bagian dari kebijaksanaan pembangunan keseluruh¬-        an, kebijaksanaan neraca pembayaran dalam Repelita V tetap berlandaskan Trilogi Pembangunan dengan tekanan pada pemera-      taan pembangunan dan hasil-hasilnya sejalan dengan pertumbuh-         ¬an ekonomi yang cukup tinggi serta stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Kebijaksanaan neraca pembayaran juga di¬arahkan guna menunjang perwujudan struktur ekonomi dan perda¬gangan luar negeri yang seimbang antara sektor industri dan sektor pertanian baik dari segi penciptaan nilai tambah mau¬-           pun kesempatan 'kerja. Selain itu, dalam rangka pemantapan stabilitas ekonomi dan untuk mempercepat pelaksanaan pemba-              ¬ngunan kebijaksanaan neraca pembayaran harus senantiasa me-              ¬mantau dengan penuh perhitungan perkembangan dan gejolak eko-nomi dunia agar pada waktunya dapat diambil langkah-langkah penyesuaian yang tepat, baik dalam arti mengatasi masalah       yang ditimbulkannya maupun dalam memanfaatkan peluang yang terbuka.
Kebijaksanaan perdagangan luar negeri dalam Repelita V ditujukan untuk menunjang tercapainya sasaran laju pertumbuh-         ¬an ekonomi sebesar rata-rata 5,0% per tahun, khususnya laju pertumbuhan sektor di luar minyak dan gas bumi sebesar paling tidak rata-rata 6,0% per tahun. Di samping itu kebijaksanaan juga diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, dan mening-'katkan penerimaan serta menghemat penggunaan devisa. Sementa-           ¬ra itu guna meningkatkan daya saing hasil produksi dalam ne-           ¬geri di pasaran internasional serta meningkatkan efisiensi       dalam penggunaan sumber dan daya produksi baik yang berasal       dari dalam negeri maupun luar negeri, kebijaksanaan deregula¬-         si dan debirokratisasi akan dilanjutkan dan disempurnakan.
1. Kebijaksanaan di Bidang Ekspor
Upaya peningkatan penghasilan devisa dari ekspor barang dan jasa, termasuk pariwisata, merupakan unsur pokok kebijak-sanaan pembangunan dalam Repelita V. Selain berperan sebagai penggerak pertumbuhan produksi, ekspor merupakan sumber devi-           ¬sa utama bagi pembiayaan impor bahan baku, bahan penolong dan barang-barang modal yang dibutuhkan untuk proses produksi dan investasi. Begitu pula peningkatan penerimaan devisa diperlu¬-kan untuk memperkuat kemampuan pembayaran angsuran dan bunga atas hutang-hutang luar negeri.
Di bidang minyak dan gas bumi akan dilakukan usaha-usaha ke arah perluasan jenis dan diversifikasi pasaran hasil-hasil minyak bumi, gas alam cair dan gas minyak bumi cair di luar negeri. Namun karena perkembangan harga yang tidak pasti di pasaran minyak bumi internasional, prospek ekspor nampak ti-           ¬dak terlalu cerah di masa mendatang, sehingga peranannya da¬-lam keseluruhan nilai ekspor diperkirakan menurun dari 40,0% dalam tahun 1988/89 menjadi 27,2% pada tahun terakhir Repe¬-lita V. Oleh karena itu, tercapainya sasaran pokok pembangun-         ¬an akan sangat ditentukan oleh keberhasilan upaya pengembang¬-an ekspor di luar minyak dan gas bumi.
Peranan strategis dari ekspor di luar minyak dan gas bu-         ¬mi mengharuskan digunakannya sumber dan daya secara optimal dalam kerangka prioritas yang jelas. Kebijaksanaan ekspor di luar minyak dan gas bumi meliputi antara lain usaha-usaha di-versifikasi, peningkatan nilai tambah, peningkatan daya saing serta perluasan pasaran di luar negeri. Penganekaragaman je¬- nis komoditi dan peningkatan tahap pengolahan dan nilai tam-bah diharapkan akan dapat memperkokoh landasan ekspor Indone¬sia dan mengubah struktur ekspornya sehingga peranan hasil
291

hasil industri akan bertambah besar sedangkan peranan ekspor hasil-hasil pertanian dan pertambangan secara relatif menu-        run. Dalam Repelita V nilai ekspor di luar minyak dan gas bu-    ¬mi diperkirakan untuk dapat tumbuh dengan rata-rata 15,6% per tahun, sedangkan peranannya dalam seluruh nilai ekspor yang diperkirakan akan naik dari 60,0% pada tahun 1988/89 menjadi 72,8% pada tahun 1993/94.
Langkah-langkah penganekaragaman dan perluasan ekspor antara lain berupa kegiatan promosi, pengiriman misi penjual¬-        an, penyebarluasan informasi perdagangan dan keikutsertaan      dalam pameran dagang di luar negeri. Kebijaksanaan pening¬-           katan nilai tambah komoditi ekspor dilaksanakan searah dengan mengurangi tata niaga impor dalam bentuk pembatasan kuantita¬-       tif serta sejauh mungkin menghindari pengenaan larangan atas ekspor. Kebijaksanaan peningkatan nilai tambah akan menguta-            ¬makan pemberian dorongan pada ekspor barang-barang jadi mela-            ¬lui pengenaan pajak atas ekspor untuk bahan mentah dan sete¬-      ngah jadi, perbaikan iklim usaha serta insentif fiskal dan moneter lain untuk ekspor barang jadi. Selanjutnya usaha-usa¬-         ha untuk mendorong peningkatan nilai tambah komoditi ekspor tersebut akan dilakukan secara selektif dengan tetap memper-
timbangkan biaya dan manfaat bagi semua kelompok masyarakat       yang berkepentingan serta prioritas pembangunan sebagai ukur-         ¬an untuk menentukan jenis barang yang diberikan prioritas.
Peningkatan daya saing barang-barang ekspor dilakukan melalui peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran, pengem¬bangan mutu serta dukungan sarana dan prasarana perdagangan, jasa angkutan, dan jasa perbankan. Daya saing produk-produk industri di pasaran luar negeri diperkuat dengan kebijaksanaan di berbagai bidang, antara lain berupa pengembalian atau pem¬bebasan bea masuk untuk bahan baku dan bahan penolong yang
digunakan dalam proses produksi dan yang masih perlu diimpor, pengurangan pengaturan tata niaga impor bahan-bahan tersebut, penyempurnaan jumlah dan syarat kredit ekspor untuk barang        jadi serta pemeliharaan kurs valuta asing yang realistis dan mendorong ekspor. Untuk mendorong produksi dan ekspor barang¬barang industri, meningkatkan lapangan kerja dan menarik pe-nanam modal juga akan dilanjutkan pengembangan kawasan peng¬olahan ekspor.
Kerja sama perdagangan internasional merupakan jalur la-      in untuk mendorong perkembangan ekspor. Untuk memperkuat ke¬dudukan Indonesia sebagai negara produsen 'clan eksportir komo¬diti primer, akan terus ditingkatkan partisipasi aktif dalam forum OPEC untuk minyak bumi dan dalam kerangka asosiasi pro¬dusen, seperti ANRPC untuk karet alam, ATPC untuk timah dan gabungan produsen lainnya seperti Masyarakat Kelapa dan Ma¬syarakat Lada. Demikian pula akan terus dikembangkan peranan dalam Perjanjian Komoditi Internasional yang berlaku untuk       timah (ITA), kopi (ICO), karet alam (INRA), kayu tropis         (ITTO) dan dalam bentuk kerja sama lainnya seperti yang ter-             ¬dapat untuk teh, 'coklat dan tembaga. Semua usaha tersebut bertujuan untuk mengusahakan stabilitas dalam pasaran inter¬nasional, tingkat harga yang wajar, penyempurnaan pemasaran        dan pengolahan serta pengembangan riset dan teknologi bagi komoditi bersangkutan. Pada tingkat perdagangan global, kerja sama dalam kerangka Persetujuan tentang Bea Masuk dan Perda¬gangan (GATT) diarahkan guna melonggarkan dan memperluas per¬dagangan internasional. Dengan memperkokoh peranannya, Indo¬- nesia dapat meningkatkan daya masuk ke berbagai pasaran dunia untuk hasil-hasil pertanian dan industri yang ada dan yang potensial. Diversifikasi pasaran perlu diusahakan juga dalam
293

rangka kerja sama regional ASEAN melalui Perjanjian Perdagang¬-       an Preferensial (PTA) dan kerja sama antar sesama negara berkembang melalui Sistem Preferensi Perdagangan Global          (GSTP).

2. Kebijaksanaan di Bidang Impor dan Jasa-jasa
Dalam Repelita V kebijaksanaan di bidang impor ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan barang-barang yang belum cukup diproduksi di dalam negeri, terutama bahan baku, bahan peno¬-       long dan barang modal serta kebutuhan akan teknologi yang di¬perlukan untuk pembangunan di berbagai sektor. Kebijaksanaan tersebut khususnya diarahkan untuk dapat mendorong perkembang¬-        an sektor industri yang diperkirakan akan mencapai laju per¬tumbuhan sebesar rata-rata 8,5% per tahun. Sementara itu          usaha swasembada pangan akan dimantapkan dan impor barang-ba¬-rang mewah, dalam rangka pelaksanaan pola hidup sederhana,        tetap dikendalikan.
Dalam rangka perubahan struktur produksi dan pertumbuhan ekonomi, kebijaksanaan substitusi impor di sektor industri dilanjutkan dan disempurnakan. Perlindungan untuk barang-ba-            ¬rang yang telah dapat dihasilkan dalam jumlah yang cukup un¬-           tuk memenuhi kebutuhan dalam negeri tetap diberikan pada ting¬-kat yang wajar agar tidak terlalu membebani konsumen dalam negeri dan sektor-sektor lain yang berkaitan. Dalam hubungan       ini bentuk perlindungan secara bertahap akan dialihkan dari bentuk larangan dan kuota impor ke bentuk perlindungan mela¬-         lui bea masuk. Kebijaksanaan tersebut akan ditempuh serasi dengan kebijaksanaan peningkatan ekspor di luar minyak dan         gas bumi, sehingga baik efisiensi dalam penggunaan sumber dan daya domestik maupun efisiensi dalam produksi dapat terus di-kembangkan. Peningkatan efisiensi produksi akan memperkuat
daya saing hasil-hasil produksi dalam negeri terhadap barang sejenis di pasaran dalam negeri dan di pasaran luar negeri. Kebijaksanaan proteksi melalui pengenaan bea masuk mengurangi timbulnya distorsi pasaran dan sejalan dengan upaya untuk me-ningkatkan efisiensi.
Penyempurnaan kebijaksanaan proteksi memerlukan perhati¬-       an khusus dan menyangkut antara lain usaha-usaha rasionalisa-          ¬si struktur bea masuk serta mekanisme pemantauan dan evaluasi agar penentuan tingkat, bentuk dan jangka waktu perlindungan didasarkan atas pertimbangan biaya dan manfaat yang adil dan menunjang upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas nasi-onal dalam jangka panjang.
Langkah-langkah untuk meningkatkan penerimaan devisa da¬-       ri jasa-jasa adalah searah dengan kebijaksanaan peningkatan ekspor di luar minyak dan gas bumi. Pemanfaatan potensi sek¬-        tor pariwisata dilakukan melalui promosi, penyediaan fasili¬-       tas untuk menarik wisatawan luar negeri dan pelanjutan kebi-jaksariaan deregulasi di bidang industri pariwisata, termasuk pengembangan obyek wisata. Potensi penghasilan devisa lainnya bersumber dari transfer pendapatan tenaga kerja Indonesia dan jasa-jasa lain seperti kontrakting untuk pembangunan proyek         di luar negeri. Di samping itu penghematan penggunaan devisa akan dapat dicapai dengan makin berkembangnya usaha penerbang¬-an dan pelayaran nasional serta makin berkembangnya jasa-jasa perbankan dan asuransi domestik.

3. Kebijaksanaan di Bidang Penanaman Modal dan Pinjaman Luar Negeri
Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan dan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta.
295

pemerataan pembangunan, termasuk perluasan kesempatan berusa¬-        ha dan lapangan kerja maka penanaman modal, termasuk penanam¬-        an modal asing, selama Repelita V akan terus didorong. Pena¬naman modal asing diutamakan bagi sektor-sektor yang mengha¬silkan barang dan jasa yang sangat diperlukan, memperluas ekspor serta memerlukan modal investasi yang besar. Sementara itu tetap akan dijaga agar penanaman modal asing tidak mem¬bahayakan kepentingan ekonomi dan keamanan nasional. Karena      itu penanaman modal asing dilaksanakan dalam bentuk usaha pa¬tungan disertai dengan syarat bahwa usaha tersebut dapat men¬ciptakan lapangan kerja, memungkinkan pengalihan keterampilan dan teknologi dalam waktu yang secepatnya dan memelihara ke¬seimbangan mutu dan tata lingkungan. Untuk menarik penanaman modal akan terus dikembangkan iklim investasi yang menggai¬rahkan melalui peningkatan kebijaksanaan deregulasi dan debi¬rokratisasi yang ditujukan pada penyederhanaan prosedur, ke¬lancaran pelayanan, serta melalui penyediaan sarana dan pra¬sarana yang memadai dan kepastian berusaha. Melalui bentuk usaha patungan, penanaman modal asing akan memperkuat perkem-bangan ekonomi nasional dan dunia usaha nasional.
Sasaran pertumbuhan ekonomi dan investasi selama Repe-          lita V memerlukan pembiayaan dalam jumlah yang besar, sedang pelaksanaannya harus berlandaskan kemampuan untuk mengerahkan dana-dana yang bersumber pada tabungan masyarakat, tabungan pemerintah serta penghasilan devisa yang berasal dari ekspor barang dan jasa. Dengan upaya peningkatan kemampuan tersebut, pinjaman luar negeri tetap merupakan unsur pelengkap dana pembangunan. Pinjaman luar negeri diterima sepanjang tidak        ada ikatan politik, syarat-syaratnya tidak memberatkan dan dalam batas kemampuan negara untuk membayar kembali. Jumlah pinjaman disesuaikan dengan kebutuhan dana pembangunan yang
belum dapat dipenuhi dari sumber dalam negeri, sedang penggu¬naannya ditujukan untuk proyek yang diberi prioritas sehingga dapat menunjang tercapainya sasaran-sasaran pembangunan.
Di samping itu, langkah-langkah akan diambil untuk terus menyempurnakan pengelolaan pinjaman luar negeri guna mening¬katkan daya serap (disbursement) pinjaman. Begitu pula diusa¬hakan penganekaragaman sumber, denominasi valuta dan bentuk pinjaman luar negeri agar dampak negatif dari perkembangan ekonomi dan gejolak nilai paritas antar valuta negara-negara pemberi pinjaman dan dampak fluktuasi dalam tingkat bunga di pasar uang dan pasar modal internasional dapat diperkecil. Kebijaksanaan pengendalian hutang-hutang juga teramat penting untuk menjaga agar perbandingan pelunasan angsuran hutang dan pembayaran bunga pinjaman terhadap penghasilan devisa dari ekspor berada pada tingkat yang cukup aman ditinjau dari per¬kembangan perekonomian secara keseluruhan. Dalam Repelita V tetap diikuti sistem pengelolaan hutang-hutang luar negeri        yang mencakup mekanisme pemantauan dan evaluasi yang cermat tentang jumlah, komposisi, denominasi valuta, tingkat bunga   dan jatuh waktunya pelunasan agar tetap pada batas-batas ke¬amanan dan agar langkah-langkah penyesuaian pada waktu terja¬-         di perubahan dalam iklim keuangan internasional dapat ditem-         ¬puh pada waktunya.
Sasaran yang hendak dicapai dalam Repelita V ialah agar perbandingan pelunasan hutang terhadap nilai ekspor (Debt Service Ratio) menurun dari sekitar 35% pada akhir Repe¬-              lita IV menjadi di bawah 25% pada akhir Repelita V. Sasaran       ini akan dicapai terutama melalui upaya untuk memacu ekspor, khususnya ekspor non migas, dan dengan mengarahkan secara       cermat pemanfaatan pinjaman luar negeri ke arah pinjaman-pin¬jaman yang benar-benar bersyarat lunak.

4. Kebijaksanaan Devisa
Dalam Repelita V kemantapan perkembangan neraca pembayar-        an akan terus didukung oleh kebijaksanaan devisa yang mendo¬-        rong ekspor, mengendalikan impor barang dan jasa, memperlan-         -car lalu lintas modal dengan luar negeri dan mendukung kesta¬bilan pasaran dan kurs valuta asing. Guna menjamin kelang-           ¬sungan sistem devisa bebas yang terkendali dan untuk menun¬jang kemampuan memenuhi semua kewajiban pembayaran kepada luar negeri, diusahakan agar cadangan devisa setiap tahun dapat meningkat. Sehubungan dengan itu sasaran yang hendak dicapai adalah terpeliharanya suatu tingkat cadangan yang rata-rata cukup untuk membiayai enam bulan impor di luar minyak dan gas bumi.

5. Kerja Sama Ekonomi Luar Negeri
Di bidang hubungan ekonomi luar negeri akan ditingkatkan kerja sama pada forum bilateral, regional maupun global se¬-        suai dengan kepentingan pembangunan nasional. Khususnya dalam rangka mewujudkan Tata Ekonomi Dunia Baru akan terus dipeli-        ¬hara solidaritas dan kesatuan sikap antara negara-negara ber¬kembang antara lain untuk mengembangkan perjanjian internasio-         ¬nal untuk komoditi primer, melenyapkan hambatan perdagangan       yang dilakukan oleh negara-negara industri terhadap ekspor negara-negara berkembang, serta meningkatkan kerja sama eko¬-        nomi dan teknik antara negara berkembang. Dalam rangka mem¬perkokoh ketahanan nasional dan memperkuat ketahanan regio-            ¬nal, kerja sama antara negara anggota ASEAN baik antar peme¬rintah maupun antar masyarakat akan terus ditingkatkan.

IV. PERKIRAAN NERACA PEMBAYARAN REPELITA V
Perkiraan neraca pembayaran untuk masa 1989/90 - 1993/94 sangat terkait dengan sasaran yang ditentukan untuk laju per¬tumbuhan ekonomi secara keseluruhan, pola pertumbuhan untuk sektor-sektor perekonomian dan sasaran untuk pertumbuhan in¬vestasi. Di samping itu, perkiraan neraca pembayaran juga di¬dasarkan atas asumsi mengenai berbagai indikator perkembangan ekonomi dunia, seperti laju pertumbuhan, tingkat inflasi, tingkat suku bunga serta nilai paritas antara valuta negara-negara industri utama. Perkembangan pasaran dan harga minyak bumi internasional merupakan faktor yang sulit diperkirakan karena ditentukan oleh kejadian-kejadian di luar jangkauan Indonesia sendiri. Demikian pula ekspor di luar minyak dan        gas bumi dipengaruhi oleh perkembangan pasaran komoditi dunia dan besar kecilnya kecenderungan proteksionisme di berbagai negara yang merupakan kendala bagi akses pasaran.
Selama Repelita V nilai ekspor secara keseluruhan diper¬kirakan meningkat dengan rata-rata 11,2% per tahun, dari US $ 18.703 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US $ 31.852 juta da¬-         lam tahun 1993/94. Nilai ekspor minyak bumi naik dengan rata-rata 1,9% per tahun, sedang nilai ekspor gas alam cair (LNG)       dan gas minyak bumi cair (LPG) diperkirakan masing-masing na¬-         ik dengan 3,5% dan 36,5% setiap tahunnya (Tabel 5-6).
Seperti disebutkan di atas nilai ekspor di luar minyak         dan gas bumi selama masa Repelita V diharapkan meningkat cu-            ¬kup tinggi, yaitu dengan rata-rata 15,6% setiap tahunnya. Di dalam kelompok ekspor ini laju pertumbuhan ekspor hasil-hasil pertanian dan hasil-hasil tambang non migas diperkirakan di bawah laju pertumbuhan rata-rata tersebut karena prospek per¬mintaan dunia akan hasil-hasil ini yang kurang pasti.

299

TABEL V - 6
PERKIRAAN NERACA PEMBAYARAN
    1989/90 - 1993/94
(dalam juta US dollar)



Sumber terbesar dari peningkatan ekspor di luar minyak dan gas bumi akan berasal dari hasil-hasil industri. Perkira-an ini sejalan dengan sasaran peningkatan pertumbuhan sektor industri, khususnya subsektor industri non migas, dalam Repe-lita V dan didasarkan atas prospek pertumbuhan yang pesat dari hasil-hasil industri yang berasal dari pengolahan lebih lanjut hasil-hasil dari sumber alam dalam negeri serta prospek per¬kembangan produk-produk baru dan barang-barang yang nilai eks¬pornya sekarang masih kecil. Di samping itu diharapkan bahwa iklim perdagangan dunia yang lebih bebas dari berbagai bentuk hambatan akan mendorong keterbukaan pasaran bagi ekspor ha¬sil-hasil industri.
Di antara produk-produk industri yang sangat potensial perkembangannya adalah hasil-hasil besi dan baja dan produk-produk tekstil seperti benang tenun dan pakaian jadi. Hasil-hasil industri lainnya yang juga mempunyai prospek pertumbuh¬an ekspor yang tinggi meliputi hasil-hasil kulit, kertas, bahan kimia dan hasil-hasil rotan.
Hasil-hasil ekspor lain yang laju pertumbuhannya diper-kirakan cukup tinggi adalah minyak sawit, hasil-hasil coklat, pupuk dan rempah-rempah, seperti kayu manis dan panili. Dalam hal kayu lapis, meskipun nilai ekspornya pada akhir Repelita         V masih akan menduduki posisi yang dominan di antara produk-produk ekspor, laju pertumbuhannya diperkirakan akan mencapai di bawah laju pertumbuhan rata-rata ekspor non migas sehingga di tahun-tahun mendatang peranannya secara relatif akan ber-kurang. Dengan berkembangnya jenis barang yang nilai ekspor-nya pada akhir Repelita IV masih kecil, dan berkembangnya jenis produk baru serta jenis produk yang berasal dari tahap pengolahan lanjutan komoditi pertanian dan pertambangan, maka
GRAFIK 5 - 3
EKSPOR 1983/84, REPELITA IV DAN REPELITA V



landasan ekspor dalam masa Repelita V akan menjadi semakin          luas dan kuat.
Nilai impor di luar sektor minyak dan gas bumi dalam Repelita V diperkirakan akan meningkat dengan rata-rata 13,4% per tahunnya. Laju pertumbuhan yang paling cepat akan terjadi untuk impor barang modal, yaitu sebesar 16,8%, disusul dengan pertumbuhan impor bahan baku dan penolong sebesar 12,4%. Pe¬ningkatan impor tersebut diperlukan untuk menunjang pertumbuh-           ¬an kapasitas produksi sesuai dengan sasaran kenaikan produksi       di berbagai sektor. Di samping itu, melalui kebijaksanaan de¬regulasi dan debirokratisasi terus diusahakan kelancaran da¬-          lam penyediaan bahan-bahan baku dan barang modal dengan harga yang wajar agar biaya produksi barang jadi terkendalikan dan daya saing dapat ditingkatkan. Sementara itu impor barang-ba¬-rang konsumsi diperkirakan mengalami kenaikan sebesar rata-         rata 8,5% per tahun. Laju pertumbuhan yang relatif rendah ini dimungkinkan oleh adanya kebijaksanaan pemantapan swasembada pangan dan oleh adanya peningkatan produksi barang-barang kon¬sumsi buatan dalam negeri.
Karena perbedaan laju pertumbuhan kelompok-kelompok ba¬-         rang impor tersebut, komposisi impor akan mengalami perubah-           ¬an. Peranan barang-barang konsumsi dan peranan bahan baku dan penolong akan menurun dari masing-masing sebesar 19,0% dan       44,0% dalam tahun 1988/89 menjadi 15,2% dan 42,0% pada akhir Repelita V. Sebaliknya peranan impor barang modal dalam peri¬-        ode yang sama akan mengalami kenaikan dari 37,0% menjadi          42,8% (Tabel 5-7 dan Tabel 5-8).
Impor sektor minyak bumi serta sektor gas bumi dalam ma¬sa Repelita V diperkirakan naik masing-masing sebesar rata-            rata 1,8% dan 4,2% per tahun. Nilai impor tersebut terutama
TABEL 5 - 7
PERKIRAAN NILAI IMPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI
MENURUT GOLONGAN EKONOMI
1989/90 - 1993/94
(f.o.b. dalam juta US dollar)
    1988/89    1989/90    1990/91    1991/92    1992/93    1993/94    Laju
Pertumbuhan
                            rata-rata (%)
Barang Konsumsi    2.215    2.450    2.673    2.877    3.108    3.328    8,5
Bahan Baku/Penolong    5.128    5.815    6.561    7.356    8.225    9.196    12,4
Barang Modal    4.312    4.980    5.780    6.793    7.975    9.371    16,8
Jumlah    11.655    13.245    15.014    17.026    19.308    21.895    13,4



GRAFIK 5 - 4
PERKIRAAN NILAI IMPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUM!,
MENURUT GOLONGAN EKONOMI
1988/89 - 1993/94




TABEL 5 - 8
PERKIRAAN KOMPOSISI IMPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI
1989/90 - 1993/94
(dalam persentase dari jumlah)
    1988/89    1989/90    1990/91    1991/92    1992/93    1993/94
Barang Konsumsi    19,0    18,5    17,8    16,9    16,1    15,2
Bahan Baku/Penolong    44,0    43,9    43,7    43,2    42,6    42,0
Barang Modal    37,0    37,6    38,5    39,9    41,3    42,8
Jumlah    100,0    100,0    100,0    100,0    100,0    100,0


GRAFIK 5 - 5
PERKIRAAN KOMPOSISI IMPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI
1989/90 - 1993/94






dipengaruhi oleh biaya produksi perusahaan-perusahaan asing, biaya investasi dan impor minyak bumi mentah.
Penerimaan dan pengeluaran devisa untuk jasa-jasa ikut menentukan perkembangan neraca pembayaran. Secara netto, pe-ngeluaran untuk jasa-jasa mengalami kenaikan sebesar 3,5% se-tiap tahun dan terdiri dari kenaikan sebesar 5,5% untuk jasa-jasa sektor minyak bumi, 6,4% untuk jasa-jasa sektor gas bumi dan 2,3% untuk sektor di luar minyak dan gas bumi. Pengeluar-           ¬an devisa untuk jasa-jasa sektor minyak dan gas bumi terutama ditentukan oleh bagian perusahaan-perusahaan asing dalam se-luruh keuntungan dan biaya pengangkutan yang dibayar pada per¬usahaan pemilik tanker luar negeri. Satu sumber penting peng¬hasilan devisa dari jasa-jasa di luar sektor minyak dan gas bumi, sekaligus juga dari ekspor seluruh barang dan jasa di luar minyak dan gas bumi, adalah sektor pariwisata. Bila      dalam tahun 1988/89 penerimaan dari pariwisata adalah sebesar US $ 1.371 juta, maka pada akhir Repelita V penerimaan terse-but diperkirakan mencapai US $ 2.811 juta sehingga merupakan sumber penghasilan devisa terbesar kedua setelah kayu lapis. Pembayaran bunga atas hutang-hutang luar negeri Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara dan sektor swasta merupakan unsur pengeluaran devisa untuk jasa-jasa yang besar. Secara netto, setelah diperhitungkan penerimaan bunga atas piutang terhadap luar negeri, kenaikan dalam pengeluaran devisa untuk pemba-yaran bunga dan transfer keuntungan PMA/bank-bank asing di-perkirakan sebesar rata-rata 3,0% per tahun. Pengeluaran ja-sa-jasa lainnya yang jumlah dan laju pertumbuhannya tinggi adalah biaya pengangkutan dan jasa-jasa lain seperti pembayar-            an untuk jasa komunikasi, lisensi dan paten dari luar negeri (Tabel 5-9).

TABEL 5 - 9
PERKIRAAN JASA-JASA DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI
1989/90 - 1993/94
(dalam Juta US dollar)
    1988/89    1989/90    1990/91    1991/92    1992/93    1993/94    Laju Pertumbuhan
                            Rata-rata    (%)
                               
A. JASA-JASA NON FAKTUR (netto)    -1.818    -1.845    -1.884    -2.024    -2.050    -2.007    2,0   
1. Pengangkutan    -1.282    -1.459    -1.616    -1.843    -2.101    -2.395    13,3   
2. Perjalanan/Pariwisata    746    907    1.096    1.318    1.577    1.933    21,0   
a. Penerimaan    (1.371)    (1.576)    (1.812)    (2.084)    (2.397)    (2.811)    (15,4)   
b. Pengeluaran    (-625)    (-669)    (-716)    (-766)    (-820)    (-878)    (7,0)   
3. Biaya angkutan lain    -230    -240    -248    -254    -258    -260    2,5   
4. Jasa-jasa lainnya    -1.052    -1.053    -1.116    -1.245    -1.268    -1.285    4,1   
B. PENDAPATAN FAKTOR (netto)
1)    -2.834    -3.095    -3.213    -3.151    -3.018    -3.201    2,5   
                               
1.    Bunga dan transfer keuntungan                               
                                   
    PMA/bank-bank asing'    -2.944    -3.221    -3.356    -3.308    -3.199    -3.419    3,0   
2.    Transfer tenaga kerja di                               
    luar negeri    110    126    143    157    181    218    14,7   
    JUMLAH (A dan B)    -4.652    -4.940    -5.097    -5.175    -5.068    -5.208    2,3   
1) Termasuk bunga sektor swasta dan BUMN.



contoh kerajinan tekstil beserta gambarnya
Kelebihan pengeluaran devisa untuk barang dan jasa di         atas penerimaan devisa dari ekspor barang dan jasa menyebab¬-           kan bahwa selama Repelita V transaksi berjalan tetap akan mengalami defisit. Meskipun demikian, defisit tersebut diper¬kirakan akan terus menurun dari US $ 2.436 juta pada tahun 1989/90 menjadi US $ 536 juta dalam tahun 1993/94. Sasaran         ini akan tercapai dengan peningkatan nilai ekspor barang di      luar minyak dan gas bumi sebesar 15,6% dan peningkatan peng¬hasilan devisa dari pariwisata sebesar 15,4% setiap tahunnya.
- komentar tentang kerajinan tekstil Sementara itu, kelanjutan kebijaksanaan deregulasi serta langkah-langkah yang akan ditempuh yang ditujukan untuk me¬ningkatkan penanaman modal diharapkan akan menciptakan iklim investasi yang semakin baik selama pelaksanaan Repelita V. Didukung pula oleh sistem perdagangan dan distribusi yang le¬-        bih efisien, maka diperkirakan bahwa realisasi dari investasi modal asing langsung selama Repelita V dapat meningkat minim-       al sebesar rata-rata 12,0% per tahun.
Penggunaan pinjaman pemerintah selama masa Repelita V diperkirakan menurun dari US $ 6.382 juta pada tahun pertama menjadi US $ 5.795 juta pada tahun 1993/94. Jumlah pinjaman tersebut berasal dari komitmen di masa lampau dan komitmen        yang diperoleh selama Repelita V. Syarat-syarat pelunasan pin¬jaman yang bare diusahakan seringan mungkin.
- jenis kerajinan tekstil tradisional Pengelolaan pinjaman dan hutang luar negeri pemerintah       akan terus disempurnakan dan diarahkan agar jumlah pembayaran bunga dan angsuran pokok atas pinjaman setiap tahunnya berada pada tingkat yang aman dan relatif stabil. Sementara itu pe¬ningkatan penghasilan devisa dari ekspor, terutama ekspor di luar minyak dan gas bumi, akan memberikan prospek penurunan dari perbandingan pelunasan hutang-hutang terhadap nilai
ekspor yang mantap. Seperti disebutkan di muka, Debt Service Ratio diperkirakan akan dapat diturunkan dari sekitar 35%          pada tahun terakhir Repelita IV menjadi di bawah 25% pada        tahun terakhir Repelita V.
- jenis kerajinan tekstil modernDengan perkembangan transaksi berjalan, pinjaman dan in¬vestasi modal luar negeri di sektor swasta, serta pinjaman        dan pelunasan pokok hutang luar negeri pemerintah tersebut di atas diperkirakan bahwa cadangan devisa dalam masa Repelita V setiap tahunnya akan tetap pada tingkat yang aman, yaitu cu-              ¬kup untuk membi4yai sekitar 6 bulan impor.
- contoh kerajinan tekstil modern beserta gambarnya Seperti disinggung di atas, dalam memperkirakan perkem¬bangan neraca pembayaran untuk Repelita V digunakan berbagai asumsi mengenai prospek perkembangan ekonomi dunia, mengenai perubahan dalam struktur produksi dan perdagangan luar negeri Indonesia, dan mengenai kelanjutan usaha peningkatan efisien¬-        si dalam penggunaan sumber-sumber produksi. Perkembangan har¬-         ga komoditi yang lebih baik di pasaran dunia, pengurangan ke¬cenderungan ke arah proteksionisme dan pasaran yang lebih terbuka merupakan faktor-faktor yang turut diperhitungkan da¬-lam perkiraan ekspor di luar minyak dan gas bumi. Ketidakpas¬tian mengenai perkembangan harga minyak bumi tetap merupakan faktor yang paling sulit didugakan dan didasarkan pada perki¬raan yang berhati-hati.
Kebijaksanaan neraca pembayaran yang ditempuh dalam Re-pelita V ditujukan untuk menunjang peningkatan ketahanan, eko¬nomi melalui perubahan dalam struktur produksi dan perdagang¬-        an luar negeri, menjaga kelangsungan laju pertumbuhan ekspor barang dan jasa yang cukup tinggi, mengarahkan penggunaan de-visa secara optimal, mengendalikan pinjaman dan hutang-hutang luar negeri serta memelihara cadangan devisa yang mantap.
311
 - jenis kerajinan tekstil beserta penjelasannya
Untuk terus meningkatkan kemampuan dalam menghasilkan devisa yang diperlukan bagi pembiayaan pembangunan, kebijaksanaan neraca pembayaran khususnya diarahkan untuk menunjang pening¬katan sekaligus perluasan landasan ekspor di luar minyak dan         gas bumi. Tercapainya sasaran-sasaran neraca pembayaran akan ditentukan oleh kesiagaan dalam mengambil langkah-langkah pen¬dukung dan penyesuaian pada waktu yang tepat.



Dengan adanya informasi yang kami sajikan tentang  15 macam produk tekstil

, harapan kami semoga anda dapat terbantu dan menjadi sebuah rujukan anda. Atau juga anda bisa melihat referensi lain kami juga yang lain dimana tidak kalah bagusnya tentang bermula kisah menjahit baju 

. Sekian dan kami ucapkan terima kasih atas kunjungannya.

buka mesin jahit : bappenas.go.id/index.php/download_file/view/8650/6328/
LihatTutupKomentar